Beberapa Media akhir-akhir diantaranya Republika Online pada tanggal 11 Agustus 2014 menulis: Komnas Perempuan menilai, PP Nomor 61/2014 sudah tepat. Karena PP itu dinilai dapat mengurangi dampak psikoligis wanita yang mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan.
"Ya kami setuju, pertimbangannya lebih pada trauma yang dialami korban perkosaan akan berganda ketika mereka mengalami kehamilan yang tidak diinginkan," kata Wakil Ketua Komnas Perempuan Desi Murdjiana kepada Republika, Ahad (10/8).
Dengan adanya PP itu, menurut Desi, negara sudah melakukan langkah yang tepat. Karena telah membolehkan perempuan yang diperkosa dapat menggugurkan kandungannya.
Apalagi, kata Desi, perkosaan tidak bisa digolongkan dengan masalah sosial biasa. Tak hanya itu, UU Kesehatan dan PP itu juga bisa membatasi kategori korban pemerkosaan dan bukan.
Hal itu yang menjadi tugas penegak hukum dan tenaga ahli medis. Mereka harus dapat membuktikan apakah wanita itu korban pemerkosaan atau bukan.
"Jadi tidak semua orang dengan mudah mengaku sebagai korban perkosaan hanya alasan untuk bisa aborsi," katanya.
Terjadi Aborsi tersebut sangat berkaitan dengan kejadian manusia dari mulai dalam rahim. Pada Hakekatnya terjadinya manusia yang melalui tahap proses kejadian manusia dalam rahim ibu, berupa
nutfah 40 hari, berupa ‘alaqah 40 hari, berupa mudgah 40 hari sampai menjadi
mahluk berbentuk manusia yang lengkap kemudian ditiupkan ruh kehidupan. Dengan
demikian, janin baru bisa dikatakan sebagai mahluk hidup setelah melampaui
waktu 120 hari atau 4 bulan, yakni memasuki minggu ke 18 dari terjadinya
konsepsi atau pembuahan.
NUTFAH
: iaitu peringkat pertama bermula selepas persenyawaan atau minggu pertama.
Ianya bermula setelah berlakunya percampuran air mani
Maksud
firman Allah dalam surah al-Insan : 2
" Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia daripada setitis air mani yang bercampur yang
Kami (hendak mengujinya dengan perintah dan larangan), kerana itu Kami jadikan
dia mendengar dan melihat "
Menurut Ibn Jurair al-Tabari, asal perkataan
nutfah ialah nutf ertinya air yang sedikit yang terdapat di dalam sesuatu bekas
samada telaga, tabung dan sebagainya. Sementara perkataan amsyaj berasal
daripada perkataan masyj yang bererti percampuran
Berasaskan
kepada makna perkataan tersebut maksud ayat di atas ialah sesungguhnya Kami
(Allah) menciptakan manusia daripada air mani lelaki dan air mani perempuan.
Daripada
nutfah inilah Allah menciptakan anggota-anggota yang berlainan , tingkahlaku
yang berbeza serta menjadikan lelaki dan perempuan. Daripada nutfah lelaki akan
terbentunya saraf, tulang dan fakulti , manakala dari nutfah perempuan akan
terbentuknya darah dan daging.
ALAQAH
: Peringkat pembentukan alaqah ialah pada hujung minggu pertama / hari ketujuh
. Pada hari yang ketujuh telor yang sudah disenyawakan itu akan tertanam di
dinding rahim (qarar makin). Selepas itu Kami mengubah nutfah menjadi alaqah.
Firman
Allah yang bermaksud
"
Kemudian Kami mengubah nutfah menjadi alaqah" al-Mukminun : 14
Kebanyakan
ahli tafsir menafsirkan alaqah dengan makna segumpal darah. Ini mungkin dibuat
berasaskan pandangan mata kasar. Alaqah sebenarnya suatu benda yang amat seni
yang diliputi oleh darah. Selain itu alaqah mempunyai beberapa maksud :
- sesuatu
yang bergantung atau melekat
- pacat
atau lintah
-
suatu buku atau ketulan darah
MUDGHAH
: Pembentukan mudghah dikatakan berlaku pada minggu keempat. Perkataan mudghah
disebut sebanyak dua kali di dalam al-Quran iaitu surah al-Hajj ayat 5 dan
surah al-Mukminun ayat 14
Firman
Allah: "lalu Kami ciptakan darah
beku itu menjadi seketul daging"
Al-Mukminun
: 14
Diperingkat
ini sudah berlaku pembentukan otak, saraf tunjang, telinga dan anggota-anggota
yang lain. Selain itu sistem pernafasan bayi sudah terbentuk.Vilus yang
tertanam di dalam otot-otot ibu kini mempunyai saluran darahnya sendiri.
Jantung bayi pula mula berdengup. Untuk perkembangan seterusnya, darah mula mengalir
dengan lebih banyak lagi kesitu bagi membekalkan oksigen dan pemakanan yang
secukupnya. Menjelang tujuh minggu sistem pernafasan bayi mula berfungsi
sendiri.
Bagaimana
dengan Aborsi? Apakah dibolehkan dalam Islam?
Aborsi
merupakan menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan
istilah “abortus”. Berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan
sel sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Ini adalah suatu
proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh.
Dalam
dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu:
1. Aborsi Spontan / Alamiah
2. Aborsi Buatan / Sengaja
3. Aborsi Terapeutik / Medis
Aborsi spontan / alamiah berlangsung
tanpa tindakan apapun. Kebanyakan disebabkan
karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma, sedangkan
Aborsi buatan / sengaja adalah
pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat
tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi
(dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak).
Aborsi terapeutik / medis adalah
pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil
tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah
yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi
ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa.
Para
ulama sepakat untuk mengharamkan pengguguran yang dilakukan pada waktu janin sudah
diberi nyawa. Perbuatan itu di pandang sebagai tindakan pidana (jarimah)
yang tidak halal dilakukan oleh seorang muslim, sebab penguguran seperti itu
sama dengan pembunuhan terhadap manusia yang telah sempurna wujudnya. Jumhur
ulama mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali termasuk yang melarang
pengguguran pada setiap pertumbuhan janin tanpa alasan, dan ulama-ulama
kontemporer seperti Mahmoud Syaltout.
Apabila
Islam telah membolehkan seorang muslim untuk mencegah kehamilan karena suatu
alasan yang mengharuskan, maka di balik itu Islam tidak membenarkan
menggugurkan kandungan apabila sudah wujud.
Jika
aborsi dilakukan sebelum nafkhi ar-ruh, maka tentang hukumnya terdapat
empat pendapat fuqaha. Pertama, mubah secara mutlak tanpa harus ada alasan medis
('uzur) menurut ulama Zaidiyyah, kelompok ulama Hanafi walaupun sebagian mereka
membatasi dengan keharusan adanya alasan medis, sebagian ulama Syafi'i, serta
sejumlah ulama Maliki dan Hambali. Kedua, mubah karena alasan medis dan makruh
jika tanpa 'uzur menurut ulama Hanafi dan sekelompok ulama Syafi'i. Ketiga,
makruh secara mutlak dan menurut sebagian ulama Maliki. Keempat, haram menurut
pendapat mu'tamad (yang dipedomani) ulama Maliki sejalan dengan mazhab Zahiri
yang mengharamkan 'azl, hal itu disebabkan telah adanya kehidupan pada janin
yang memungkinkannya tumbuh berkembang. Jika aborsi dilakukan setelah nafkhi
ar-ruh pada janin, maka semua pendapat fuqaha 'uzur perbuatan itu diancam
dengan sanksi pidana manakala janin keluar dalam keadaan mati, dan sanksi
tersebut oleh fuqaha disebut dengan gurrah.
Menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 4 Tahun 2005 tentang aborsi adalah:
Pertama: Ketentuan
Umum
1.
Darurat adalah suatu keadaan di mana seseorang
apabila tidak melakukan sesuatu yang diharamkan maka ia akan mati atau hampir
mati.
2.
Hajat adalah suatu keadaan di mana seseorang
apabila tidak melakukan sesuatu yang diharamkan maka ia akan mengalami
kesulitan besar.
Kedua: Ketentuan
Hukum
1.
Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya
implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi).
2.
Aborsi dibolehkan karena adanya udzur, baik yang
bersifat darurat ataupun hajat.
Keadaan
darurat yang berkaitan dengan kehamilan yang membolehkan aborsi adalah:
-
Perempuan hamil menderita sakit fisik berat
seperti kanker stadium lanjut, TBC dengan caverna dan penyakit-penyakit fisik
berat lainnya yang harus ditetapkan oleh Tim Dokter.
-
Dalam keadaan di mana kehamilan mengancam nyawa
si ibu.
Keadaan
hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat membolehkan aborsi adalah:
-
Janin yang dikandung dideteksi menderita cacat
genetic yang kalau lahir kelak sulit disembuhkan.
-
Kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh
Tim yang berwenang yang di dalamnya terdapat antara lain keluarga korban,
dokter, dan ulama.
(
Kebolehan
aborsi sebagaimana dimaksud huruf b harus dilakukan sebelum janin berusia 40
hari.
3.
Aborsi haram hukumnya dilakukan pada kehamilan
yang terjadi akibat zina.
Oleh karena itu, Pemerintah melalui peraturan mengatur tentang kesehatan reproduksi, telah mengatur tentang aborsi. Dimana negara
pada prinsipnya melarang tindakan aborsi, larangan tersebut ditegaskan kembali
dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Tetapi kenyataannya,
tindakan aborsi pada beberapa kondisi medis merupakan satu-satunya jalan yang
harus dilakukan tenaga medis untuk menyelamatkan nyawa seorang ibu yang
mengalami permasalahan kesehatan atau komplikasi yang serius pada saat
kehamilan.
Pada
kondisi berbeda akibat pemaksaan kehendak pelaku, seorang korban perkosaan akan
menderita secara fisik, mental, dan sosial. Dan kehamilan akibat perkosaan akan
memperparah kondisi mental korban yang sebelumnya telah mengalami trauma berat
akibat peristiwa perkosaan tersebut. Trauma mental yang berat juga akan
berdampak buruk bagi perkembangan janin yang dikandung korban. Oleh karena itu,
sebagian besar korban perkosaan mengalami reaksi penolakan terhadap
kehamilannya dan menginginkan untuk melakukan aborsi.
Mengenai
tindakan aborsi ini, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada
prinsipnya sejalan dengan ketentuan peraturan pidana yang ada, yaitu melarang
setiap orang untuk melakukan aborsi. Namun, dalam tataran bahwa negara harus
melindungi warganya dalam hal ini perempuan yang melakukan aborsi berdasarkan
indikasi kedaruratan medis dan akibat perkosaan, serta melindungi tenaga medis
yang melakukannya, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan membuka
pengecualian untuk aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan
akibat perkosaan.
Untuk
masalah aborsi akibat perkosaan, beberapa ketentuan yang diatur dalam PP No 61
Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi adalah:
-
Dalam Pasal 34
(1) Kehamilan
akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b merupakan
kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kehamilan
akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
a.
usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan,
yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan
b.
keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli
lain mengenai adanya dugaan perkosaan.
-
Dalam Pasal 35
(1) Aborsi
berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan harus
dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab.
(2) Praktik
aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. dilakukan
oleh dokter sesuai dengan standar;
b. dilakukan
di fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
Menteri;
c. atas
permintaan atau persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan;
d. dengan
izin suami, kecuali korban perkosaan;
e. tidak
diskriminatif; dan
f. tidak
mengutamakan imbalan materi.
(3) Dalam
hal perempuan hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c tidak dapat
memberikan persetujuan, persetujuan aborsi dapat diberikan oleh keluarga yang
bersangkutan.
(4)
Dalam hal suami tidak dapat dihubungi, izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diberikan oleh keluarga yang
bersangkutan.
-
Pasal 36
(1) Dokter
yang melakukan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan
akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) huruf a harus
mendapatkan pelatihan oleh penyelenggara pelatihan yang terakreditasi.
(2) Dokter
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan anggota tim kelayakan aborsi
atau dokter yang memberikan surat keterangan usia kehamilan akibat perkosaan.
(3) Dalam hal
di daerah tertentu jumlah dokter tidak mencukupi, dokter sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat berasal dari anggota tim kelayakan aborsi.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
- Pasal
37
(1) Tindakan
aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan
hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling.
(2) Konseling
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi konseling pra tindakan dan diakhiri
dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor.
(3) Konseling
pra tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tujuan:
a. menjajaki
kebutuhan dari perempuan yang ingin melakukan aborsi;
b. menyampaikan
dan menjelaskan kepada perempuan yang ingin melakukan aborsi bahwa tindakan
aborsi dapat atau tidak dapat dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis
dan pemeriksaan penunjang;
c. menjelaskan
tahapan tindakan aborsi yang akan dilakukan dan kemungkinan efek samping atau
komplikasinya;
d. membantu
perempuan yang ingin melakukan aborsi untuk mengambil keputusan sendiri untuk
melakukan aborsi atau membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi setelah
mendapatkan informasi mengenai aborsi; dan
e. menilai
kesiapan pasien untuk menjalani aborsi.
(4) Konseling
pasca tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tujuan:
a. mengobservasi
dan mengevaluasi kondisi pasien setelah tindakan aborsi;
b. membantu
pasien memahami keadaan atau kondisi fisik setelah menjalani aborsi;
c. menjelaskan
perlunya kunjungan ulang untuk pemeriksaan dan konseling lanjutan atau tindakan
rujukan bila diperlukan; dan
d. menjelaskan
pentingnya penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah terjadinya kehamilan.
Pasal
38
- Dalam
hal korban perkosaan memutuskan membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi
setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
37 ayat (3) huruf d atau tidak memenuhi ketentuan untuk dilakukan tindakan
aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), korban perkosaan dapat
diberikan pendampingan oleh konselor selama masa kehamilan.
- Anak
yang dilahirkan dari ibu korban perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diasuh oleh keluarga.
- Dalam
hal keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menolak untuk mengasuh anak
yang dilahirkan dari korban perkosaan, anak menjadi anak asuh yang pelaksanaannya
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
-
Pasal 39
(1) Setiap
pelaksanaan aborsi wajib dilaporkan kepada kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota dengan tembusan kepala dinas kesehatan provinsi.
(2) Laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pimpinan fasilitas pelayanan
kesehatan.
Mudah-mudahan
apa yang saya sampaikan ada manfaatnya.
Jakarta,
14 Agustus 2014
Edward
Arif