Kamis, 14 Agustus 2014

Telaah Kebijakan Pemerintah tentang Aborsi

Beberapa Media akhir-akhir diantaranya Republika Online pada tanggal 11 Agustus 2014 menulis: Komnas Perempuan menilai, PP Nomor 61/2014 sudah tepat. Karena PP itu dinilai dapat mengurangi dampak psikoligis wanita yang mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan.
"Ya kami setuju, pertimbangannya lebih pada trauma yang dialami korban perkosaan akan berganda ketika mereka mengalami kehamilan yang tidak diinginkan," kata Wakil Ketua Komnas Perempuan Desi Murdjiana kepada Republika, Ahad (10/8).

Dengan adanya PP itu, menurut Desi, negara sudah melakukan langkah yang tepat. Karena telah membolehkan perempuan yang diperkosa dapat menggugurkan kandungannya. 

Apalagi, kata Desi, perkosaan tidak bisa digolongkan dengan masalah sosial biasa. Tak hanya itu, UU Kesehatan dan PP itu juga bisa membatasi kategori korban pemerkosaan dan bukan. 

Hal itu yang menjadi tugas penegak hukum dan tenaga ahli medis. Mereka harus dapat membuktikan apakah wanita itu korban pemerkosaan atau bukan.

"Jadi tidak semua orang dengan mudah mengaku sebagai korban perkosaan hanya alasan untuk bisa aborsi," katanya. 


Terjadi Aborsi tersebut sangat berkaitan dengan kejadian manusia dari mulai dalam rahim. Pada Hakekatnya terjadinya manusia yang melalui tahap proses kejadian manusia dalam rahim ibu, berupa nutfah 40 hari, berupa ‘alaqah 40 hari, berupa mudgah 40 hari sampai menjadi mahluk berbentuk manusia yang lengkap kemudian ditiupkan ruh kehidupan. Dengan demikian, janin baru bisa dikatakan sebagai mahluk hidup setelah melampaui waktu 120 hari atau 4 bulan, yakni memasuki minggu ke 18 dari terjadinya konsepsi atau pembuahan.

NUTFAH : iaitu peringkat pertama bermula selepas persenyawaan atau minggu pertama. Ianya bermula setelah berlakunya percampuran air mani
Maksud firman Allah dalam surah al-Insan : 2

       " Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia  daripada setitis air mani yang bercampur yang Kami (hendak mengujinya dengan perintah dan larangan), kerana itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat "

 Menurut Ibn Jurair al-Tabari, asal perkataan nutfah ialah nutf ertinya air yang sedikit yang terdapat di dalam sesuatu bekas samada telaga, tabung dan sebagainya. Sementara perkataan amsyaj berasal daripada perkataan masyj yang bererti percampuran

Berasaskan kepada makna perkataan tersebut maksud ayat di atas ialah sesungguhnya Kami (Allah) menciptakan manusia daripada air mani lelaki dan air mani perempuan.

Daripada nutfah inilah Allah menciptakan anggota-anggota yang berlainan , tingkahlaku yang berbeza serta menjadikan lelaki dan perempuan. Daripada nutfah lelaki akan terbentunya saraf, tulang dan fakulti , manakala dari nutfah perempuan akan terbentuknya darah dan daging.

ALAQAH : Peringkat pembentukan alaqah ialah pada hujung minggu pertama / hari ketujuh . Pada hari yang ketujuh telor yang sudah disenyawakan itu akan tertanam di dinding rahim (qarar makin). Selepas itu Kami mengubah nutfah menjadi alaqah.

Firman Allah yang bermaksud
" Kemudian Kami mengubah nutfah menjadi alaqah" al-Mukminun : 14

Kebanyakan ahli tafsir menafsirkan alaqah dengan makna segumpal darah. Ini mungkin dibuat berasaskan pandangan mata kasar. Alaqah sebenarnya suatu benda yang amat seni yang diliputi oleh darah. Selain itu alaqah mempunyai beberapa maksud :

-       sesuatu yang bergantung atau melekat
-       pacat atau lintah
-       suatu buku atau ketulan darah

MUDGHAH : Pembentukan mudghah dikatakan berlaku pada minggu keempat. Perkataan mudghah disebut sebanyak dua kali di dalam al-Quran iaitu surah al-Hajj ayat 5 dan surah al-Mukminun ayat 14

Firman Allah: "lalu Kami ciptakan darah beku itu menjadi seketul daging"
Al-Mukminun : 14

Diperingkat ini sudah berlaku pembentukan otak, saraf tunjang, telinga dan anggota-anggota yang lain. Selain itu sistem pernafasan bayi sudah terbentuk.Vilus yang tertanam di dalam otot-otot ibu kini mempunyai saluran darahnya sendiri. Jantung bayi pula mula berdengup. Untuk perkembangan seterusnya, darah mula mengalir dengan lebih banyak lagi kesitu bagi membekalkan oksigen dan pemakanan yang secukupnya. Menjelang tujuh minggu sistem pernafasan bayi mula berfungsi sendiri.

Bagaimana dengan Aborsi? Apakah dibolehkan dalam Islam?


Aborsi merupakan menggugurkan kandungan atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah “abortus”. Berarti pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh.

Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu:
1.   Aborsi Spontan / Alamiah
2.   Aborsi Buatan / Sengaja
3.   Aborsi Terapeutik / Medis

Aborsi spontan / alamiah berlangsung tanpa tindakan apapun.  Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma, sedangkan

Aborsi buatan / sengaja adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak).

Aborsi terapeutik / medis adalah pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik.  Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa. 

Para ulama sepakat untuk mengharamkan pengguguran yang dilakukan pada waktu janin sudah diberi nyawa. Perbuatan itu di pandang sebagai tindakan pidana (jarimah) yang tidak halal dilakukan oleh seorang muslim, sebab penguguran seperti itu sama dengan pembunuhan terhadap manusia yang telah sempurna wujudnya. Jumhur ulama mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali termasuk yang melarang pengguguran pada setiap pertumbuhan janin tanpa alasan, dan ulama-ulama kontemporer seperti Mahmoud Syaltout.

Apabila Islam telah membolehkan seorang muslim untuk mencegah kehamilan karena suatu alasan yang mengharuskan, maka di balik itu Islam tidak membenarkan menggugurkan kandungan apabila sudah wujud.

Jika aborsi dilakukan sebelum nafkhi ar-ruh, maka tentang hukumnya terdapat empat pendapat fuqaha. Pertama, mubah secara mutlak tanpa harus ada alasan medis ('uzur) menurut ulama Zaidiyyah, kelompok ulama Hanafi walaupun sebagian mereka membatasi dengan keharusan adanya alasan medis, sebagian ulama Syafi'i, serta sejumlah ulama Maliki dan Hambali. Kedua, mubah karena alasan medis dan makruh jika tanpa 'uzur menurut ulama Hanafi dan sekelompok ulama Syafi'i. Ketiga, makruh secara mutlak dan menurut sebagian ulama Maliki. Keempat, haram menurut pendapat mu'tamad (yang dipedomani) ulama Maliki sejalan dengan mazhab Zahiri yang mengharamkan 'azl, hal itu disebabkan telah adanya kehidupan pada janin yang memungkinkannya tumbuh berkembang. Jika aborsi dilakukan setelah nafkhi ar-ruh pada janin, maka semua pendapat fuqaha 'uzur perbuatan itu diancam dengan sanksi pidana manakala janin keluar dalam keadaan mati, dan sanksi tersebut oleh fuqaha disebut dengan gurrah.

Menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 4 Tahun 2005 tentang aborsi adalah:

Pertama: Ketentuan Umum

1.     Darurat adalah suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak melakukan sesuatu yang diharamkan maka ia akan mati atau hampir mati.
2.     Hajat adalah suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak melakukan sesuatu yang diharamkan maka ia akan mengalami kesulitan besar.

Kedua: Ketentuan Hukum

1.     Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi).
2.     Aborsi dibolehkan karena adanya udzur, baik yang bersifat darurat ataupun hajat.

                      Keadaan darurat yang berkaitan dengan kehamilan yang membolehkan aborsi adalah:

-       Perempuan hamil menderita sakit fisik berat seperti kanker stadium lanjut, TBC dengan caverna dan penyakit-penyakit fisik berat lainnya yang harus ditetapkan oleh Tim Dokter.
-       Dalam keadaan di mana kehamilan mengancam nyawa si ibu.


Keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat membolehkan aborsi adalah:
-       Janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetic yang kalau lahir kelak sulit disembuhkan.
-       Kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh Tim yang berwenang yang di dalamnya terdapat antara lain keluarga korban, dokter, dan ulama.
(               
                 Kebolehan aborsi sebagaimana dimaksud huruf b harus dilakukan sebelum janin berusia 40 hari.

3.     Aborsi haram hukumnya dilakukan pada kehamilan yang terjadi akibat zina.

Oleh karena itu, Pemerintah melalui peraturan mengatur tentang kesehatan reproduksi, telah mengatur tentang aborsi. Dimana negara pada prinsipnya melarang tindakan aborsi, larangan tersebut ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Tetapi kenyataannya, tindakan aborsi pada beberapa kondisi medis merupakan satu-satunya jalan yang harus dilakukan tenaga medis untuk menyelamatkan nyawa seorang ibu yang mengalami permasalahan kesehatan atau komplikasi yang serius pada saat kehamilan.


Pada kondisi berbeda akibat pemaksaan kehendak pelaku, seorang korban perkosaan akan menderita secara fisik, mental, dan sosial. Dan kehamilan akibat perkosaan akan memperparah kondisi mental korban yang sebelumnya telah mengalami trauma berat akibat peristiwa perkosaan tersebut. Trauma mental yang berat juga akan berdampak buruk bagi perkembangan janin yang dikandung korban. Oleh karena itu, sebagian besar korban perkosaan mengalami reaksi penolakan terhadap kehamilannya dan menginginkan untuk melakukan aborsi.

Mengenai tindakan aborsi ini, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada prinsipnya sejalan dengan ketentuan peraturan pidana yang ada, yaitu melarang setiap orang untuk melakukan aborsi. Namun, dalam tataran bahwa negara harus melindungi warganya dalam hal ini perempuan yang melakukan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan akibat perkosaan, serta melindungi tenaga medis yang melakukannya, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan membuka pengecualian untuk aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan.

Untuk masalah aborsi akibat perkosaan, beberapa ketentuan yang diatur dalam PP No 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi adalah:

-       Dalam Pasal 34

(1) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
a.     usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan
b.     keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.


-       Dalam Pasal 35

(1)   Aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab.
(2)   Praktik aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.     dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar;
b.     dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri;
c.      atas permintaan atau persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan;
d.     dengan izin suami, kecuali korban perkosaan;
e.     tidak diskriminatif; dan
f.      tidak mengutamakan imbalan materi.
(3)   Dalam hal perempuan hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c tidak dapat memberikan persetujuan, persetujuan aborsi dapat diberikan oleh keluarga yang bersangkutan.
(4)   Dalam hal suami tidak dapat dihubungi, izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diberikan oleh keluarga yang bersangkutan.

-       Pasal 36

(1) Dokter yang melakukan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) huruf a harus mendapatkan pelatihan oleh penyelenggara pelatihan yang terakreditasi.
(2) Dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan anggota tim kelayakan aborsi atau dokter yang memberikan surat keterangan usia kehamilan akibat perkosaan.
(3) Dalam hal di daerah tertentu jumlah dokter tidak mencukupi, dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari anggota tim kelayakan aborsi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

-       Pasal 37
(1)   Tindakan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling.
(2)   Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi konseling pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor.
(3)   Konseling pra tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tujuan:
a.     menjajaki kebutuhan dari perempuan yang ingin melakukan aborsi;
b.     menyampaikan dan menjelaskan kepada perempuan yang ingin melakukan aborsi bahwa tindakan aborsi dapat atau tidak dapat dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang;
c.      menjelaskan tahapan tindakan aborsi yang akan dilakukan dan kemungkinan efek samping atau komplikasinya;
d.     membantu perempuan yang ingin melakukan aborsi untuk mengambil keputusan sendiri untuk melakukan aborsi atau membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi; dan
e.     menilai kesiapan pasien untuk menjalani aborsi.
(4)   Konseling pasca tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tujuan:
a.     mengobservasi dan mengevaluasi kondisi pasien setelah tindakan aborsi;
b.     membantu pasien memahami keadaan atau kondisi fisik setelah menjalani aborsi;
c.      menjelaskan perlunya kunjungan ulang untuk pemeriksaan dan konseling lanjutan atau tindakan rujukan bila diperlukan; dan
d.     menjelaskan pentingnya penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah terjadinya kehamilan.

Pasal 38
  1.         Dalam hal korban perkosaan memutuskan membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) huruf d atau tidak memenuhi ketentuan untuk dilakukan tindakan aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), korban perkosaan dapat diberikan pendampingan oleh konselor selama masa kehamilan.
  2.         Anak yang dilahirkan dari ibu korban perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diasuh oleh keluarga.
  3.      Dalam hal keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menolak untuk mengasuh anak yang dilahirkan dari korban perkosaan, anak menjadi anak asuh yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


-       Pasal 39

(1) Setiap pelaksanaan aborsi wajib dilaporkan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dengan tembusan kepala dinas kesehatan provinsi.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan.

Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan ada manfaatnya.

Jakarta, 14 Agustus 2014



Edward Arif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar